Wednesday, November 13, 2019

Linglung

Hari ini aku lagi ngerasa sedikit linglung. Ada beberapa pikiran yang merangsek ke dalam otak, ke dalam hati, dan ke dalam perut. Loh ko ke dalam perut sih? Iya, jadi kalau lagi banyak pikiran aku suka kembung. Tetiba teringat kelakuanku beberapa tahun silam saat merasa linglung, saat menghadapi rasa sedih ataupun sakit yang ngga berdarah. Sedikit bocoran, kalau dulu aku sangat bodoh memposisikan keberadaan diri di dunia yang sekecil daun bayam ini. Dulu aku pernah melakukan hal bodoh di mana saat merasa sedih dan sakit aku terkungkung oleh perasaan sedih dan sakit yang itu-itu aja. Masih labil, belum dewasa, bisa jadi. Tapi aku juga nggak yakin kalo beberapa tahun kemudian setelah hal bodoh yang aku lakukan aku udah sempurna dewasa.



Jadi kejadiannya itu sekitar 6 tahunan yang lalu. Saat aku merasa sangat patah hati sepatah-patahnya dan merasa dikhianati sekhianat-khianatnya. Terkadang orang dalam posisi seperti itu sangat drama. Aku merasa dunia berjalan lambat, slow motion, lagu-lagu serba mellow, dan aku adalah korban dari semua kejahatan tokoh-tokoh antagonis lainnya. Aku jalan kaki pukul 19.00 malam Waktu Indonesia Bekasi, dari kosan menuju pasar malam gor Bekasi. Tapi aku ngga niat beli apa-apa dan ngga liat apa-apa. Kala itu aku melihat diriku sebagai seorang yang kehilangan arah yang separuh jiwanya koma.
Hiyy serem gak tuh.

Lalu tanpa dikendalikan siapa-siapa aku naik angkot menuju stasiun Bekasi, kemudian nyambung elep biru menuju Cikarang yang entah pada saat itu aku mau ke mana aku juga bingung. Di elep, berderai air mata aku duduk deket kaca. Menatap  jalanan yang seakan nertawain aku padahal mereka diem aja, lalu nyolok kuping pake headset, ter-playlah lagu Utopia yang recycle Lentera Cinta. Kalian tau gak? Aku nangis ga peduli dunia sekitar, berderai, sesenggukan, seolah-olah aku mahluk paling menyedihkan di dunia ini, gak punya apa-apa, gak punya siapa-siapa, terkalahkan oleh keadaan, pecundang banget dah pokoknya. Boro-boro kepikiran beberapa tahun ke depan bakal hidup kayak apa, buat napas aja tersengal-sengal dicekal rasa sakit hati.

“Kemanaa.. kuharus melangkah, jejakmu samar-samar kuikutii..” pas liriknya maen di situ, seperti guyuran air hujan di bulan desember, mukaku basah oleh semua air mata. Udah kayak di sinetron-sinetron dah, lebayatun. Mungkin orang-orang berpikir ni anak kenapaa coba, ga jelas banget, untung gak dikira gila. Wkwkkw
Sebenernya kita gak bisa ngejudge rasa sakit seseorang itu lebay sih, dengan alasan apapun, dengan kadar berapapun. Yang salah bukan keadaan, ataupun mereka-mereka yang aku pikir telah menyakitiku, menghianati sekaligus, tapi jiwaku aja yang saat itu lemah kali.

Lalu aku memutuskan turun di Tamchela yang alias sesebutanku untuk Tambun, jalan ke kontrakan sahabatku yang lain, kugedor-gedor pintunya tanpa memanggil namanya. Lalu dia membuka pintu melihatku sepayah itu aku langsung disuruh masuk dan dipeluk. Ya memang, kita selalu butuh sahabat pada akhirnya meskipun beberapa orang lupa sama sahabatnya ketika lagi senang-senang punya pacar baru, lalu mengabaikan sahabat yang sedari dulu menemani. Semua kisah cinta itu ga selalu indah gaess.. tapi pada akhirnya kita harus sadar bahwa kita diciptakan oleh Tuhan untuk hidup bukan tujuannya untuk meratapi perasaan cinta yang dihianati dua orang terkasih sekaligus, kekasih dan sahabat.

Satu tips lagi sih, ketika galau mendingan hindari lagu galau, jadinya makin kebawa-bawa deh nantinya.
Sekarang, aku sih udah ga selebay dulu masalah perasaan, tapi justru karena terlalu berhati-hati malah aku juga jadi sulit memulai kembali. Ah, sudahlah nanti aku coba cari obat.


Cikarang, 13 November 2019

No comments:

Post a Comment

Please keep our comment polite :)

Contributors