Tuesday, March 27, 2018

C I R E M A I, Cinta Pertama yang Rumit

Ciremai lagi cerah
Jadi tulisan ini dibuat karena ada temen yang nanyain jalur pendakian ke Ciremai, Kuningan Jawa Barat. Sekilas memori jadi lepas ke penghujung mei 2014. Berbekal libur dari YMMA yang panjang sampai 5 hari dan modal nekat jadilah Aku yang newbie ini, dan tiga temanku yang lain ikut event pendakian bersama gunung Ciremai via jalur pendakian Linggarjati. Jalur pendakian gunung tertinggi di jawa barat ini terbilang terjal. 

Aku yang newbie dan sok-sokan mendaki cuma modal nekat, fisik tidak terlatih, pengalaman apalagi, ibarat menemukan cinta pertama langsung yang rumit jadilah susah move on😂. Htm nya 50ribu dapat kaos dan sertifikat. Tentu saja dengan izin ibuku, merengek-rengek merayu-rayu akhirnya dapatlah izin. Tentunya buat kalian yang mau nanjak prioritaskan izin orang tua, karena kalian ga akan pernah tau apa yang akan terjadi selama kalian di gunung, tanpa doa dari mereka kita cuma butiran rengginang di kaleng khong guan. Akan menyedihkan tentunya jika hanya kabar kita yang pulang tapi orang tua tidak tau menau mengenai keberangkatan kita ke gunung. Yang perlu diingat gunung bukanlah tempat refreshing, ini adalah tentang perjalanan memulai dan berjuang sampai akhir. Sepulang nanti kalian akan jadi manusia baru yang lebih memahami bahwa hidup kalian itu berharga, bahwa keindahan alam tercipta bukan begitu saja, ada Sang Maha Kuasa yang begitu besar kekuasaannya, dan kita semakin merasa kecil kerdil di hadapanNya seperti butiran rengginang tadi. 
Basecamp Jalur Linggarjati

Jadi perjalanan kami start dari jam 11 siang, menuju pos 1 saja yang masih di jalan aspal aku merasa ngeri belum pos-pos berikutnya. Ya Allah kupikir ini bagaimana apa aku kuat? Kunang-kunang udah berkeliaran aja di kepala karena matahari lagi panas-panasnya. Untungnya ada madu hitam dari temanku yang membuat pening kepalaku mereda. Jadi perhatikan juga waktu memulai pendakian ya, dan persiapkan logistik penunjang supaya kita bisa tetap fit, tentunya tim yang berangkat harus benar-benar solid. Kalo ngga yaudah deh sendirian di gunung pasti menyedihkan, sendirian di kosan aja menyedihkan. Hehehe
Banyak orang bilang "kalau mau hidup sendiri, di hutan sana, di gunung," menurut aku itu kurang tepat. Kalau orang mendaki gunung egonya masing-masing tentulah mereka ga akan lama bertahan hidup, mall ga ada, sumber air tak dekat, makanan cuma daun-daunan, maka ga cocok egois di gunung. 




Waktu sholat dhuhur tiba, maka orang-orang sholat dengan tayamum dari debu pohon. Lho ko ga pake air? Air di Ciremai sangat berharga, sumber air satu-satunya cuma di Cibunar, pos 1, yang masih sekitar 700 an mdpl, sedangkan puncak di 3078 mdpl, bisa dibayangkan berapa liter beban yang harus dibawa dengan kemiringan mendekati 45° di jalur ini. Bahkan akhir-akhir aku mendengar kelompok lain ada yang ingin menukar pacar dengan sebotol air, 😂 ya itu cuma becanda sebenernya. Tapi menggambarkan betapa berharganya air itu dan akupun mengalaminya. Point pentingnya adalah, meski lelah, dan serba terbatas, sholat itu tetap nomor satu. Jadi mereka-mereka yang bawa-bawa cerriel segede kulkas dan perjalanan jauh aja masih inget kalo sudah waktu sholat, terus kita-kita yang kadang bisa mudah sholat, adzan terdengar, kalau masih pura-pura budek itu ya keterlaluan.

Waktu maghrib tim kami tiba di pos kuburan kuda. Ini cuma istilah, gatau sebenernya ada apa ngga kuburan kudanya. Sudah sejauh ini, semakin lelah semakin tak ingin menyerah. Lelahnya kaya gimana? Ya bayangin aja ceriel isi air aja udah 6 liter, belum yang lain-lain, menapaki jalan setapak dengan beban berat lumayan bikin pundak pegal dan kaki mules. Nanjak loker YMMA kalo pulang kerja aja kadang "semangat, puncak dikit lagi," hehehe. Karena puncak masih jauh, pulang lagi juga jauh, jadi ga ada pilihan selain lanjut. 

Semakin malam situasi semakin terasa mencekam, dingin semakin menusuk kulit, saat itu aku cuma pakai jaket motor dan sendal gunung carvil. Jadi pelajaran berikutnya adalah prepare itu penting demi kelangsungan hidup kita di gunung.
Karena keseringan istirahat, malam-malam kita masih di jalan. Pukul 21:00 baru sampai ke pos pangalap dan mendirikan tenda. Barulah betis mulai berasa pegal-pegalnya. Tapi kita jadi banyak kenalan ada anak SMA dari sumedang, mba-mba yang cuma sendirian bawa tenda dari Solo, ada komunitas YJA dari yamaha motor juga (eks tempat kerjaku dulu), lalu ada KPK (Komunitas Pendaki Kantoran) dari Jakarta, semakin banyak teman semakin menguatkan langkah bahwa kita ngga sendirian. Ngobrol sambil jalan juga bisa mengurangi beban.

Setelah tenda berdiri, masak nasi, sholat dan lain-lain kita pergi tidur dan bangun lagi jam 1 malam untuk summit attack. Jadi summit attack itu mendaki dengan meninggalkan tenda dan cerriel, yang dibawa cuma yang penting-penting aja seperti air, gula merah/madu, dan barang-barang berharga. Udara semakin dingin, tapi kita ga boleh berhenti bergerak. Kalau diam di luar tenda bahaya bisa hipotermia. Baru beberapa langkah turunlah hujan, akhirnya kami berteduh di tenda orang, sampai ketiduran aku pukul 03:00 pagi. Orang-orang di gunung ini begitu baik, ngga ada rasanya aku nemuin yang "a numpang istirahat, ujan" "siapa lo? Jangan ganggu gue lagi tidur" rasanya kebaikan-kebaikan mereka itu menyadarkan bahwa kita ga bisa hidup sendiri. Setelah hujan reda, jalanan jadi licin karena setapak adalah jalur air, kita cuma bisa merayap dan diserang tanjakan bapa tere dan tanjakan seruni yang rasanya itu ga abis-abis. Ini sih seperti panjat dinding, panjat gunung, meleset dikit udah deh masuk jurang. Tangan dan kaki harus dikerahkan sekuat tenaga, newbie bodoh dan nekat seperti aku cuma bisa nyusahin orang lain doang, senter dipegang, alas kaki pakenya sendal, sungguh menghawatirkan. Untungnya ada orang baik yang mau megangin senter aku jadi tangan dan kakiku bebas merayap.


Waktu subuh kami sampai di pos batu lingga. Langit mulai terlihat, tapi masih samar karena pohon masih tinggi. Coklat di kantong membeku, kulit hidung tak lagi terasa saking dinginnya. Tapi perutku mulai sakit sepertinya panggilan alam. Aku pikir mana mungkin pup di tempat seperti ini, jadi kupaksakan melanjutkan perjalanan. Sampai di pos sangga buana menuju pengasinan aku sudah tak tahan lagi. Perut sakit ini sungguh menyiksa perjalanan, akhirnya aku ceritakan masalahku pada temanku. Dengan sigap dia meminjam pisau abang-abang yang sedang memasak mie untuk menggali tanah. Jadilah aku mencari semak-semak dan dijaga oleh temanku dan aku seperti kucing gali tanah untuk pup. "Tapi nanti ditutup lagi ya," begitu pesannya. Jadi secara tidak sengaja aku turut bersumbangsih terhadap pembentukan humus di gunung ciremai. Bagian ini ga mungkin bisa terlupakan seumur hidup, pup di tempat tertinggi sepanjang hayat.😂


Setelah lega kami melanjutkan perjalanan menuju pos pangasinan, pos terahir sebelum puncak. Di sana puncak udah keliatan. Tapi ko rasanya ga nyampe-nyampe. Jalur sempit berbatu pasir dan ngeri liat kanan-kiri jurang. Setiap orang yang udah pulang kami tanya "a, puncak masih jauh?" "itu udah keliatan, paling 10 menit lagi," begitu katanya. Hamparan bunga edelwise bertebaran sepanjang jalur, indah dan sederhana. Mereka tumbuh dalam sepi dan dingin, begitu terjaga, begitu indah. Lalu sepuluh menit kemudian lagi "pak, puncak masih jauh?" "setengah jam lagi lah, tenang di atas ada indomaret," katanya becanda. Loh ko beda-beda prediksi waktunya, ternyata tergantung kecepatan kita berjalan. Yang bilang 10 menit lagi ternyata porter yang memang pekerjaannya adalah mendaki gunung. Jadi baginya hobi sudah menjadi pekerjaan, karena untuk itu dia dibayar. Akhirnya satu jam kemudian pukul 11.00 siang barulah kami sampai puncak. 



Aku bersimpuh dan bersujud sambil mengalirkan air mata melihat kawah gunung ciremai yang begitu indah dan samudera awan yang terlihat empuk menghiasai. Menangis lamaa sekali, berpelukan dengan teman-teman seperjuangan yang dari bawah bersama-sama. Melihat rumah-rumah kecil di bawah sana, mungkin salah satunya rumahku. Aku menangis melihat kebesaran Allah, Ia begitu mudah menciptakan ini semua, sedang aku di sini hanya mahluk kecil yang jika dibandingkan dengan semua itu mungkin hanya sekecil nano. Mengharu biru rasanya, tanpa izin dariNya tidak mungkin aku bisa sampai di sini melewati jalur berbatu dan curam. Tapi dalam tangis aku berpikir "Ya Allah ini gimana turunnya..." sedangkan lutut udah lemes. Dan tentunya turunnya ngesot, akhir-akhir aku tau kalau celana yang kupakai ngga bersih dicuci tiga kali. Pukul 12 kami turun gunung tapi sisa air ga nyampe setengah botol 600 ml, itu artinya cuma sekitar 200 ml untuk berdua.

Sampai di pos batu lingga lagi ada yang sedang beberes tenda, kami meminta apakah mereka punya air. Dan diberi sebotol penuh. Ya ampuun rasanya bahagia sekali, aku dan temanku sempat tak percaya. Hidup kita masih bisa berlangsung, setelah seperjalanan tadi cuma ngemutin air di rumput karena ngga tega air cuma seuprit. Akhirnya tenggorokan bisa minum juga. Waktu sudah menunjukan waktu ashar, setelah sholat, mendung mulai menghiasi dan turunlah hujan. Meski kami cepat-cepat tetap hujan turun lebih cepat. Melanjutkan perjalanan hanya akan membahayakan. Akhirnya aku dan temanku duduk di bawah pohon. Kami perempuan tinggal berdua, karena teman kami yang laki-laki sepertinya ikut dengan rombongan di depan. Bodohnya lagi jas hujan, kamera, air (sebelum kami dapat air) ada di dia. Belakangan teman kami yang lain meminta maaf, karena apapun yang terjadi satu tim harusnya bersama-sama. Hanya akan jadi penyesalan andaikan teman yang ditinggalkan tidak pernah kembali. Akhirnya kami berteduh di bawah pohon bersama abang-abang yang membuat tempat teduh dari jas hujan. Duduk terpekur menunggu hujan, menunduk, akhirnya ketiduran sampai pukul 17:00. Setelah hujan reda kami lanjut pulang ke tenda. Tapi di tengah jalan kakiku kepleset, kaki kiriku kepleset sedang kaki kananku nyangkut di akar, badanku sudah mau jatuh terperosok. "Toloooong......." teriakku. Temanku yang perempuan hampir menangis berteriak minta tolong sambil memegangi tanganku. Aku pikir saat itulah akhir hidupku, terbayang wajah ibuku, dan aku menangis membayangkan apa yang akan terjadi. Di bawah itu batu-batu yang begitu runcing dan tanah licin. Kami hanya berdua, mustahil aku bertahan. Tapi pertolongan Allah datang. Mas-mas dari atas mengangkat tubuhku yang mungil ini. Akhirnya aku selamat. 


Jadi ingat film 5cm meskipun sering kutonton karena seru, adegan saat Arinda dan Ian jatuh kenapa mereka hanya berenam saja? Kupikir di pendakian yang sesungguhnya tidak mungkin pendaki lain pada cuek. Karena di awal-awal kan banyak juga pendaki yang lain di depan ataupun di belakang mereka. Tapi ya udahlah namanya juga film.

Kami kembali melanjutkan perjalanan dengan lebih berhati-hati. Sampai di tenda maghrib dan kami menginap satu malam lagi. Besoknya baru packing beberes. Sampai basecamp aku dijemput bibiku. Dipeluknya, diciumnya. Dia bilang waktu SMA dia cuma ngecamp di cibunar (pos 1) sedang teman-teman yang lain nanjak. Sampai rumah aku peluk ibuku yang berkaca-kaca. Kepulanganku dengan selamat pasti karena doanya. Mengingat banyak kejadian-kejadian membahayakan yang bisa begitu saja menghilangkan nyawaku. Terima kasih Ciremai, sahabat, orang tua. 

Pengalaman hidup seperti ini takkan pernah bisa dibeli dengan berapapun uangnya. Setiap kali merasa lelah dalam melakukan sesuatu, kenangan ini selalu menjadi moodbooster, bahwa aku pernah bisa melalui semua itu sampai akhir. Semoga kalian yang membaca tulisan ini bisa lebih prepare lagi kalau mau mendaki. Jangan pernah tinggalkan sampah kalian, kalau bisa pungutin sampah orang, itu baru pendaki cantik. Mendaki itu ga selamanya seindah dan seheroik film 5cm, karena kenyataannya yang tersulit adalah mengalahkan diri kita sendiri. Perjalanan mendaki gunung itu bukan hiburan, lebih tepatnya perjalanan kehidupan, karenanya jangan pernah mendaki gunung kalau niatnya cuma mau keren-kerenan, atau selfie, atau sok kuat. Di sana kita akan sangat merasa kecil dan bukan apa-apa. Juga jauhkan rasa egois, karena egois di gunung hanya akan menyisakan penyesalan. Semangat!

No comments:

Post a Comment

Please keep our comment polite :)

Contributors