Ciremai lagi cerah |
Aku yang newbie dan sok-sokan mendaki cuma modal
nekat, fisik tidak terlatih, pengalaman apalagi, ibarat menemukan cinta
pertama langsung yang rumit jadilah susah move on😂.
Htm nya 50ribu dapat kaos dan sertifikat. Tentu saja dengan izin ibuku,
merengek-rengek merayu-rayu akhirnya dapatlah izin. Tentunya buat
kalian yang mau nanjak prioritaskan izin orang tua, karena kalian ga
akan pernah tau apa yang akan terjadi selama kalian di gunung, tanpa doa
dari mereka kita cuma butiran rengginang di kaleng khong guan. Akan
menyedihkan tentunya jika hanya kabar kita yang pulang tapi orang tua
tidak tau menau mengenai keberangkatan kita ke gunung. Yang perlu
diingat gunung bukanlah tempat refreshing, ini adalah tentang perjalanan
memulai dan berjuang sampai akhir. Sepulang nanti kalian akan jadi
manusia baru yang lebih memahami bahwa hidup kalian itu berharga, bahwa
keindahan alam tercipta bukan begitu saja, ada Sang Maha Kuasa yang
begitu besar kekuasaannya, dan kita semakin merasa kecil kerdil di
hadapanNya seperti butiran rengginang tadi.
Basecamp Jalur Linggarjati |
Jadi perjalanan kami
start dari jam 11 siang, menuju pos 1 saja yang masih di jalan aspal aku
merasa ngeri belum pos-pos berikutnya. Ya Allah kupikir ini bagaimana
apa aku kuat? Kunang-kunang udah berkeliaran aja di kepala karena
matahari lagi panas-panasnya. Untungnya ada madu hitam dari temanku yang
membuat pening kepalaku mereda. Jadi perhatikan juga waktu memulai
pendakian ya, dan persiapkan logistik penunjang supaya kita bisa tetap
fit, tentunya tim yang berangkat harus benar-benar solid. Kalo ngga
yaudah deh sendirian di gunung pasti menyedihkan, sendirian di kosan aja
menyedihkan. Hehehe
Banyak orang bilang "kalau mau hidup
sendiri, di hutan sana, di gunung," menurut aku itu kurang tepat. Kalau
orang mendaki gunung egonya masing-masing tentulah mereka ga akan lama
bertahan hidup, mall ga ada, sumber air tak dekat, makanan cuma
daun-daunan, maka ga cocok egois di gunung.
Waktu sholat dhuhur
tiba, maka orang-orang sholat dengan tayamum dari debu pohon. Lho ko ga
pake air? Air di Ciremai sangat berharga, sumber air satu-satunya cuma
di Cibunar, pos 1, yang masih sekitar 700 an mdpl, sedangkan puncak di
3078 mdpl, bisa dibayangkan berapa liter beban yang harus dibawa dengan
kemiringan mendekati 45° di jalur ini. Bahkan akhir-akhir aku mendengar
kelompok lain ada yang ingin menukar pacar dengan sebotol air, 😂
ya itu cuma becanda sebenernya. Tapi menggambarkan betapa berharganya
air itu dan akupun mengalaminya. Point pentingnya adalah, meski lelah,
dan serba terbatas, sholat itu tetap nomor satu. Jadi mereka-mereka yang
bawa-bawa cerriel segede kulkas dan perjalanan jauh aja masih inget
kalo sudah waktu sholat, terus kita-kita yang kadang bisa mudah sholat,
adzan terdengar, kalau masih pura-pura budek itu ya keterlaluan.
Waktu maghrib tim kami tiba di pos kuburan kuda. Ini cuma istilah, gatau
sebenernya ada apa ngga kuburan kudanya. Sudah sejauh ini, semakin
lelah semakin tak ingin menyerah. Lelahnya kaya gimana? Ya bayangin aja
ceriel isi air aja udah 6 liter, belum yang lain-lain, menapaki jalan
setapak dengan beban berat lumayan bikin pundak pegal dan kaki mules.
Nanjak loker YMMA kalo pulang kerja aja kadang "semangat, puncak dikit
lagi," hehehe. Karena puncak masih jauh, pulang lagi juga jauh, jadi ga
ada pilihan selain lanjut.
Semakin malam situasi semakin terasa
mencekam, dingin semakin menusuk kulit, saat itu aku cuma pakai jaket
motor dan sendal gunung carvil. Jadi pelajaran berikutnya adalah prepare
itu penting demi kelangsungan hidup kita di gunung.
Karena keseringan istirahat, malam-malam kita masih di jalan. Pukul 21:00 baru sampai ke pos pangalap dan mendirikan tenda. Barulah betis mulai berasa pegal-pegalnya. Tapi kita jadi banyak kenalan ada anak SMA dari sumedang, mba-mba yang cuma sendirian bawa tenda dari Solo, ada komunitas YJA dari yamaha motor juga (eks tempat kerjaku dulu), lalu ada KPK (Komunitas Pendaki Kantoran) dari Jakarta, semakin banyak teman semakin menguatkan langkah bahwa kita ngga sendirian. Ngobrol sambil jalan juga bisa mengurangi beban.
Karena keseringan istirahat, malam-malam kita masih di jalan. Pukul 21:00 baru sampai ke pos pangalap dan mendirikan tenda. Barulah betis mulai berasa pegal-pegalnya. Tapi kita jadi banyak kenalan ada anak SMA dari sumedang, mba-mba yang cuma sendirian bawa tenda dari Solo, ada komunitas YJA dari yamaha motor juga (eks tempat kerjaku dulu), lalu ada KPK (Komunitas Pendaki Kantoran) dari Jakarta, semakin banyak teman semakin menguatkan langkah bahwa kita ngga sendirian. Ngobrol sambil jalan juga bisa mengurangi beban.
Setelah tenda berdiri, masak
nasi, sholat dan lain-lain kita pergi tidur dan bangun lagi jam 1 malam
untuk summit attack. Jadi summit attack itu mendaki dengan meninggalkan
tenda dan cerriel, yang dibawa cuma yang penting-penting aja seperti
air, gula merah/madu, dan barang-barang berharga. Udara semakin dingin,
tapi kita ga boleh berhenti bergerak. Kalau diam di luar tenda bahaya
bisa hipotermia. Baru beberapa langkah turunlah hujan, akhirnya kami
berteduh di tenda orang, sampai ketiduran aku pukul 03:00 pagi.
Orang-orang di gunung ini begitu baik, ngga ada rasanya aku nemuin yang
"a numpang istirahat, ujan" "siapa lo? Jangan ganggu gue lagi tidur"
rasanya kebaikan-kebaikan mereka itu menyadarkan bahwa kita ga bisa
hidup sendiri. Setelah hujan reda, jalanan jadi licin karena setapak
adalah jalur air, kita cuma bisa merayap dan diserang tanjakan bapa tere
dan tanjakan seruni yang rasanya itu ga abis-abis. Ini sih seperti
panjat dinding, panjat gunung, meleset dikit udah deh masuk jurang.
Tangan dan kaki harus dikerahkan sekuat tenaga, newbie bodoh dan nekat
seperti aku cuma bisa nyusahin orang lain doang, senter dipegang, alas
kaki pakenya sendal, sungguh menghawatirkan. Untungnya ada orang baik
yang mau megangin senter aku jadi tangan dan kakiku bebas merayap.
Waktu subuh kami sampai di pos batu lingga. Langit mulai terlihat, tapi
masih samar karena pohon masih tinggi. Coklat di kantong membeku, kulit
hidung tak lagi terasa saking dinginnya. Tapi perutku mulai sakit
sepertinya panggilan alam. Aku pikir mana mungkin pup di tempat seperti
ini, jadi kupaksakan melanjutkan perjalanan. Sampai di pos sangga buana
menuju pengasinan aku sudah tak tahan lagi. Perut sakit ini sungguh
menyiksa perjalanan, akhirnya aku ceritakan masalahku pada temanku.
Dengan sigap dia meminjam pisau abang-abang yang sedang memasak mie
untuk menggali tanah. Jadilah aku mencari semak-semak dan dijaga oleh
temanku dan aku seperti kucing gali tanah untuk pup. "Tapi nanti ditutup
lagi ya," begitu pesannya. Jadi secara tidak sengaja aku turut
bersumbangsih terhadap pembentukan humus di gunung ciremai. Bagian ini
ga mungkin bisa terlupakan seumur hidup, pup di tempat tertinggi
sepanjang hayat.😂
Setelah lega kami melanjutkan perjalanan menuju pos pangasinan, pos
terahir sebelum puncak. Di sana puncak udah keliatan. Tapi ko rasanya ga
nyampe-nyampe. Jalur sempit berbatu pasir dan ngeri liat kanan-kiri
jurang. Setiap orang yang udah pulang kami tanya "a, puncak masih jauh?"
"itu udah keliatan, paling 10 menit lagi," begitu katanya. Hamparan
bunga edelwise bertebaran sepanjang jalur, indah dan sederhana. Mereka
tumbuh dalam sepi dan dingin, begitu terjaga, begitu indah. Lalu sepuluh
menit kemudian lagi "pak, puncak masih jauh?" "setengah jam lagi lah,
tenang di atas ada indomaret," katanya becanda. Loh ko beda-beda
prediksi waktunya, ternyata tergantung kecepatan kita berjalan. Yang
bilang 10 menit lagi ternyata porter yang memang pekerjaannya adalah
mendaki gunung. Jadi baginya hobi sudah menjadi pekerjaan, karena untuk
itu dia dibayar. Akhirnya satu jam kemudian pukul 11.00 siang barulah
kami sampai puncak.
Aku bersimpuh dan bersujud sambil mengalirkan air
mata melihat kawah gunung ciremai yang begitu indah dan samudera awan
yang terlihat empuk menghiasai. Menangis lamaa sekali, berpelukan dengan
teman-teman seperjuangan yang dari bawah bersama-sama. Melihat
rumah-rumah kecil di bawah sana, mungkin salah satunya rumahku. Aku
menangis melihat kebesaran Allah, Ia begitu mudah menciptakan ini semua,
sedang aku di sini hanya mahluk kecil yang jika dibandingkan dengan
semua itu mungkin hanya sekecil nano. Mengharu biru rasanya, tanpa izin
dariNya tidak mungkin aku bisa sampai di sini melewati jalur berbatu dan
curam. Tapi dalam tangis aku berpikir "Ya Allah ini gimana turunnya..."
sedangkan lutut udah lemes. Dan tentunya turunnya ngesot, akhir-akhir
aku tau kalau celana yang kupakai ngga bersih dicuci tiga kali. Pukul 12
kami turun gunung tapi sisa air ga nyampe setengah botol 600 ml, itu
artinya cuma sekitar 200 ml untuk berdua.
Sampai di pos batu
lingga lagi ada yang sedang beberes tenda, kami meminta apakah mereka
punya air. Dan diberi sebotol penuh. Ya ampuun rasanya bahagia sekali,
aku dan temanku sempat tak percaya. Hidup kita masih bisa berlangsung,
setelah seperjalanan tadi cuma ngemutin air di rumput karena ngga tega
air cuma seuprit. Akhirnya tenggorokan bisa minum juga. Waktu sudah
menunjukan waktu ashar, setelah sholat, mendung mulai menghiasi dan
turunlah hujan. Meski kami cepat-cepat tetap hujan turun lebih cepat.
Melanjutkan perjalanan hanya akan membahayakan. Akhirnya aku dan temanku
duduk di bawah pohon. Kami perempuan tinggal berdua, karena teman kami
yang laki-laki sepertinya ikut dengan rombongan di depan. Bodohnya lagi
jas hujan, kamera, air (sebelum kami dapat air) ada di dia. Belakangan
teman kami yang lain meminta maaf, karena apapun yang terjadi satu tim
harusnya bersama-sama. Hanya akan jadi penyesalan andaikan teman yang
ditinggalkan tidak pernah kembali. Akhirnya kami berteduh di bawah pohon
bersama abang-abang yang membuat tempat teduh dari jas hujan. Duduk
terpekur menunggu hujan, menunduk, akhirnya ketiduran sampai pukul
17:00. Setelah hujan reda kami lanjut pulang ke tenda. Tapi di tengah
jalan kakiku kepleset, kaki kiriku kepleset sedang kaki kananku nyangkut
di akar, badanku sudah mau jatuh terperosok. "Toloooong......."
teriakku. Temanku yang perempuan hampir menangis berteriak minta tolong
sambil memegangi tanganku. Aku pikir saat itulah akhir hidupku,
terbayang wajah ibuku, dan aku menangis membayangkan apa yang akan
terjadi. Di bawah itu batu-batu yang begitu runcing dan tanah licin.
Kami hanya berdua, mustahil aku bertahan. Tapi pertolongan Allah datang.
Mas-mas dari atas mengangkat tubuhku yang mungil ini. Akhirnya aku
selamat.
Jadi ingat film 5cm meskipun sering kutonton karena seru, adegan saat Arinda dan Ian jatuh kenapa mereka hanya berenam saja? Kupikir di pendakian yang sesungguhnya tidak mungkin pendaki lain pada cuek. Karena di awal-awal kan banyak juga pendaki yang lain di depan ataupun di belakang mereka. Tapi ya udahlah namanya juga film.
Kami kembali melanjutkan perjalanan dengan lebih berhati-hati. Sampai di
tenda maghrib dan kami menginap satu malam lagi. Besoknya baru packing
beberes. Sampai basecamp aku dijemput bibiku. Dipeluknya, diciumnya. Dia
bilang waktu SMA dia cuma ngecamp di cibunar (pos 1) sedang teman-teman
yang lain nanjak. Sampai rumah aku peluk ibuku yang berkaca-kaca.
Kepulanganku dengan selamat pasti karena doanya. Mengingat banyak
kejadian-kejadian membahayakan yang bisa begitu saja menghilangkan
nyawaku. Terima kasih Ciremai, sahabat, orang tua.
Pengalaman hidup
seperti ini takkan pernah bisa dibeli dengan berapapun uangnya. Setiap
kali merasa lelah dalam melakukan sesuatu, kenangan ini selalu menjadi
moodbooster, bahwa aku pernah bisa melalui semua itu sampai akhir.
Semoga kalian yang membaca tulisan ini bisa lebih prepare lagi kalau mau
mendaki. Jangan pernah tinggalkan sampah kalian, kalau bisa pungutin
sampah orang, itu baru pendaki cantik. Mendaki itu ga selamanya seindah
dan seheroik film 5cm, karena kenyataannya yang tersulit adalah
mengalahkan diri kita sendiri. Perjalanan mendaki gunung itu bukan
hiburan, lebih tepatnya perjalanan kehidupan, karenanya jangan pernah
mendaki gunung kalau niatnya cuma mau keren-kerenan, atau selfie, atau
sok kuat. Di sana kita akan sangat merasa kecil dan bukan apa-apa. Juga
jauhkan rasa egois, karena egois di gunung hanya akan menyisakan
penyesalan. Semangat!
No comments:
Post a Comment
Please keep our comment polite :)